Ditulis oleh arief | |
Rabu, 28 Oktober 2009 | |
Waktu kecil, saya pernah membaca sebuah cerita di majalah anak-anak, yang tadinya saya pikir hanya dongeng belaka. Seekor anjing setiap pagi mengantar tuannya ke stasiun kereta. Sorenya, anjing itu akan menjemput di stasiun yang sama. Hingga suatu hari, tuan pemilik anjing itu meninggal di tempat kerja. Tetapi si anjing tidak tahu, dan terus menjemput tuannya setiap sore hingga 10 tahun lamanya. Ternyata itu bukan kisah fiktif. Hachiko, nama anjing setia tersebut milik Profesor Ueno, seorang dosen pada Universitas Tokyo yang meninggal pada 21 Mei 1925. Ia merupakan anjing jantan ras Akita Inu kelahiran Odate, Prefektur Akita, Jepang. Pada akhirnya Hachiko menjadi dikenal penduduk sekitar Stasiun Shibuya. Banyak orang konon ke situ hanya untuk melihat dengan iba si anjing yang hendak menjemput tuannya yang tak kunjung datang. Sejak tahun 1934, satu tahun sebelum anjing itu mati, di depan Stasiun Shibuya didirikan patungnya. Kini, tempat tersebut jadi meeting point orang-orang Tokyo. Banyak anak muda yang terlihat berdiri, bersandar ke dinding, atau duduk di sekitar patung Hachiko sambil menunggu pasangan kencannya sementara di sekitarnya aktivitas seperti bergerak dengan sangat cepat oleh lalu lalang orang dan hilir mudik kendaraan. Di luar itu, banyak hal menarik di Tokyo, lebih-lebih kalau kita mencermati cara berpakaian orang-orangnya. Wajar lalu ada sebutan bahwa Tokyo adalah salah satu Kota Fashionista. Dan benar, penduduk Tokyo umumnya melek fesyen. Pada setiap sudut sebuah mall bernama 109 di daerah Shibuya, terlihat anak-anak muda berpakaian sangat modern. Mereka mengingatkan saya pada boneka Jepang pemberian paman saya sekitar 20 tahun lalu. Hanya saja, kostumnya sama sekali berbeda. Kini bukannya kimono dan bakiak Jepang, mereka memakai baju berlengan panjang, rok mini, coat, stoking warna-warni berpola variasi, serta sepasang sepatu bot berhak tinggi. Yang laki-laki tak kalah gayanya: dandy sekaligus funky. Saya perhatikan sepatu mereka dan berpikir, tak ada orang Tokyo yang tak mengindahkan sepatu. Dari keseluruhan gayanya, tampaknya sepatu menjadi bagian penting yang tak boleh alpa dipikirkan. Pada musim gugur saat saya ke sana, bot memang menjadi pilihan utama. Bermacam model bot dijual mulai harga 2.000 yen (sekitar Rp 240 ribu) hingga puluhan ribu yen. Beberapa menggunakan bulu binatang sebagai syal penutup leher. Rambut mereka dicat non-hitam dengan potongan modern, sebagian bahkan me-make-over wajahnya dengan bedak berwarna kecokelatan, sehingga kulitnya berkesan tanned. Rasanya istilah ”mati gaya” paling tepat untuk menggambarkan seorang pendatang yang hanya berbaju panjang untuk menghangatkan tubuh. Dari Stasiun Shibuya, saya naik kereta dalam kota menuju Harajuku. Beberapa orang terlihat santai membaca buku, baik duduk maupun sambil berdiri. Di sini, orang terbiasa menutupi kover buku bacaannya dengan sampul dari toko buku. Biasanya, sampulnya berwarna cokelat dan ada nama tokonya. Jika tidak, beberapa sengaja menutupinya dengan kertas putih. Budaya membaca buku agaknya hal yang biasa di Jepang. Di sepanjang jalan, toko-toko buku second-hand (loak?) juga hidup. Jika rajin mencarinya, bahkan buku Harry Potter serial terakhir versi bahasa Inggris hardcover pun sudah bisa didapat hanya seharga 500 yen (sekitar Rp. 60 ribu). Kebanyakan buku yang mereka bawa berukuran buku saku, baik itu komik maupun non-komik. Mereka membaca buku bahkan ketika sedang di eskalator stasiun kereta dan subway. Begitu tangga jalan habis, buku mereka selipkan di tas untuk nanti dibaca lagi. Tak sampai sepuluh menit dari Shibuya, saya tiba di stasiun Harajuku. Sebenarnya jalan kaki pun bisa, tetapi karena jalan menuju Harajuku naik bukit, jadi saya memilih naik kereta. Nama Harajuku begitu terkenal di Indonesia karena penyanyi Maia Estianti mengklaim dirinya berdandan ala anak muda daerah tersebut. Begitu keluar stasiun, segera saya lihat lautan orang di Takeshita Street. Beberapa anak muda laki-laki dengan rambut spikey terlihat sedang berdiri. Di situlah anak-anak Harajuku konon membeli baju-bajunya dengan harga murah, mulai dari 350 yen hingga beberapa ribu yen. Ketika masuk ke dalam Takeshita Street, baru saya ngeh ada toko-toko yang menjual pakaian bekas pakai dan toko pakaian satu harga (semua baju seharga 500 yen). Anak-anak muda Harajuku berdandanan jauh lebih ekstrem ketimbang Maia. Mereka bergaya ala gotik, punk, berkostum binatang, dan Barbie-girl/boy. Anehnya, meskipun mereka berani berdandan ekstrem, tetapi kebanyakan malu dipotret. Pertokoan di sepanjang jalan itu dipenuhi anak muda, baik yang belanja maupun bekerja sebagai salesman -berteriak-teriak sambil membawa papan promosi atau membagi-bagikan leaflet dengan bonus sebungkus tissue-, semua bergaya ekstrem. Selain orang Jepang, orang kulit hitam juga banyak di sana. Dengan bahasa Jepang yang terbatas, dan senyum yang ramah mereka mempersilakan tamunya masuk. Umumnya, orang-orang kulit hitam mengelola toko khusus menjual pakaian dan aksesoris hip-hop. Harajuku merupakan Bronx-nya Jepang. Di sinilah titik ”pemberontakan” dari segala sikap resmi dan unggah-ungguh ala Jepang. Ini satu-satunya daerah yang para pelayan tokonya yang tidak selalu berkata ”irasainase” (selamat datang) kepada pengunjung. Sangat berbeda dengan daerah Ginza atau Roponggi, barang-barang di Harajuku bisa didapat dengan harga jauh lebih murah. Apabila di Jepang sangat susah mendapatkan barang bajakan, maka di daerah Harajuku (tepatnya di Takeshita Street) sajalah kemungkinan barang bajakan diperdagangkan. Sedikit banyak tempat itu mengingatkan saya pada Blok M, Jakarta. Di pengujung Takeshita Street, menyeberang sedikit, di situlah letak Harajuku Street yang mengingatkan saya pada Bandung. Jika di Takeshita Street menjual barang-barang yang diambil dari pemasok, maka di Harajuku Street toko-toko independen (distro) yang menjual pakaian rancangan sendiri bertebaran bahkan di gang-gang kecil. Beberapa toko yang menjual pakaian dan aksesori ala India, Hindu/Budha, dan penduduk asli Amerika (Indian) terselip di antara toko-toko pakaian ala Barbie-girl/boy. Masih di daerah Harajuku, di dekat taman, para musisi jalanan menyuguhkan kebolehannya. Setiap aliran musik punya teritori sendiri dan tidak saling menganggagu. Konon, di tempat itulah band-band Jepang ditemukan bakatnya oleh para produser. Tak hanya itu, beberapa penggemar Elvis Presley yang berdadan dengan rambut dijambul tinggi juga terlihat sedang menari-nari di pinggir taman dengan iringan lagu-lagu Presley. Di kursi panjang seorang pengemis terlihat bermalasan di bangku panjang. Sebuah koper berisi harta bendanya, juga tumpukan kardus yang kelihatannya jadi alas tidurnya, tertata rapi di situ. Sedang ia sendiri rebahan di atas tas gendutnya sambil membaca sebuah buku. Seorang teman asal Indonesia yang lama berada di Jepang menjelaskan, mereka yang jadi pengemis, jika tidak karena benar-benar malas sehingga miskin, banyak pula karena tak punya keluarga. Dengan menjadi pengemis, mereka bisa berkomunitas dan punya banyak teman. Amboi... Doa Pengharapan di Kuil Meiji Di dekat taman daerah Harajuku, ada sebuah gerbang besar menuju Kuil Meiji. Kuil itu akan dipenuhi orang terutama pada tahun baru, ketika penganut Shinto berdoa meminta berkah di awal tahun. Jalan sepanjang kira-kira satu kilometer saya tempuh sebelum bertemu gerbang akhir Kuil Shinto. Suasana sakral segera menyelimuti saya. Burung gagak terlihat beterbangan di antara pepohonan hutan buatan. Konon, penduduknya menyumbangkan ribuan batang pohon untuk membuat hutan buatan menuju kuil tersebut. Tumpukan drum sake dengan beragam ornamen dipajang tak jauh dari gerbang pertama menuju kuil, berseberangan dengan tumpukan drum wine (minuman angur). Penganut Shinto di Jepang percaya, meminum minuman beralkohol berarti membersihkan jiwa dan raga seseorang. Ada beberapa gerbang besar berbentuk kanji ”pintu” yang harus dilewati sebelum sampai ke gerbang akhir. Memasuki gerbang terakhir, setiap orang harus mencuci tangan dan berkumur-kumur pada sebuah mata air sangat dingin yang sudah disediakan. Gayung kecil bergagang panjang terbuat dari bambu berjajar di pinggirnya. Ketika memasuki kuil, pengunjung harus melangkahi anak tangga paling tinggi karena dilarang menginjaknya. Sebab dipercaya bahwa anak tangga paling tinggi adalah kedudukan Dewa-Dewa. Kesakralan atau mungkin nuansa mistis seolah-olah berpusaran di tempat itu. Lihat saja bagaimana sebuah toko yang menjual beragam jimat dikerumuni pengunjung. Mulai dari jimat enteng jodoh, banyak rezeki, hinga jimat selamat di jalan dijual dengan kemasan warna-warni. Beberapa orang terlihat membeli sebuah papan yang disebut tablet doa seharga 500 yen. Sontak, saya teringat acara Talkshow Oprah yang topiknya ''impian yang jadi kenyataan''; beberapa bintang tamunya mengaku menuliskan cita-cita mereka di sebuah papan dan memajangnya untuk menyugesti diri sendiri mewujudkan impian itu. Di halaman kuil, tepatnya di sebelah kanan sebelum pintu masuk, ribuan tablet doa tergantung memutar di papan yang sudah disediakan. Masing-masing tablet bertuliskan harapan dan cita-cita penulisnya. Membaca harapan orang lain tiba-tiba menjadi hiburan untuk para turis, terutama harapan yang berbahasa Inggris. Orang Jepang yang datang dan menulis tablet doa biasanya siswa yang akan ujian dan berharap lulus. Saya juga membaca sebuah tablet yang bercita-cita menjadi komikus manga terkenal agar bisa membantu ibunya. Di dalam kuil, yang paling menarik bagi saya adalah sebuah kotak yang disebut ”waka”. Dengan 100 yen, pengunjung bisa mengambil sebuah gulungan kertas kecil berisi puisi Kaisar Meiji yang isinya merefleksikan kepribadian dan menasehati si Pengambil Kertas. Beberapa orang terlihat berdoa setelah melemparkan koin berlubang (5 yen atau 50 yen), sementara para pendeta terlihat seliweran tak terganggu pengunjung yang sesekali mengambil foto. Penulis : Ratih Kumala Sumber: SuaraMerdeka |