Kumuh menjadi Pusat Industri Kreatif
Ditulis oleh arief | |
Selasa, 27 Oktober 2009 | |
Hari yang dimulai dengan cahaya matahari terang selalu menjadi pertanda hari itu akan menyenangkan. Setelah dua tahun tinggal di Inggris, saya paham mengapa orang Inggris terobsesi perkiraan cuaca. Cuaca di Inggris nyaris tak dapat ditebak dan hampir selalu diterpa hujan atau angin dingin. Pada Minggu bulan Juli yang cerah, kami mengunjungi Brick Lane di Central London. Berpusat di Jalan Brick Lane yang panjangnya 1 km dan meluas hingga 1 mil ke sekitarnya, ini adalah salah satu area paling terkenal di distrik East End, berlokasi di distrik City of London, salah satu pusat perkantoran terbesar dan tertua di dunia Selama berabad-abad distrik East End memegang posisi sentral dalam sejarah imigrasi Inggris. Lokasinya di sebelah Sungai Thames, memudahkan pendatang datang dan menetap. Brick Lane sempat menjadi area kumuh. Berkat regenerasi area ini kembali terkenal sebagai pusat komunitas imigran dan komunitas industri kreatif. Brick Lane modern kini adalah salah satu pusat seni, desain, makanan, dan aktivitas anak muda paling menarik di London. Sejarah imigrasi Brick Lane berawal dari kedatangan komunitas Protestan Perancis pada abad ke-17 yang melarikan diri dari tekanan Raja Louis XIV. Mereka berprofesi tradisional khas kota Lyon di Perancis, yakni tenun tangan sutra. Berikutnya, migrasi komunitas Yahudi dari Eropa Timur yang menghindari ancaman kekerasan di tempat asal. Dari 1881 hingga 1914 ada 150.000 imigran Yahudi menetap di sana, kebanyakan sangat miskin dan tidak terpelajar. Mereka berdagang di pasar, jadi tukang sepatu, buruh pabrik rokok, penjahit dan perajin kayu. Ketika bertambah kaya, mereka pindah ke area lebih bergengsi, seperti Golders Green dan Hendon. Meski begitu, hingga kini masih terdapat toko roti bagel khas Yahudi di Brick Lane, salah satunya Brick Lane Beigel Bake yang menjual roti bagel terenak di Inggris. Toko ini buka 24 jam dan menjual hingga 7.000 potong roti per hari. Imigran Muslim dari Banglades berimigrasi besar-besaran ke London antara 1980-an dan 1990-an, umumnya menjual tekstil atau membuka restoran. Siang itu saya sukses tergoda makan siang di salah satu restoran Banglades. Makanan pembuka roti tipis garing, poppadom, ditemani saus mangga manis, saus yoghurt, dan asinan cabai. Untuk makanan utama, saya memesan lamb bhuna, kari daging domba berbumbu tomat dan bawang bombai disertai nasi bertabur bawang goreng. Secangkir teh panas disajikan menemani serunya percakapan kami. Mencari harta Setelah perut kenyang, mulailah penjelajahan kami di Brick Lane. Tujuan pertama, pasar mingguan (UP) Market dan Backyard Market di dalam gedung kecil. Di situ para desainer muda memamerkan kreasinya di sekitar 40 kios. Pakaian yang ditawarkan berbeda dari yang di mal, yaitu berdesain lebih individual karena tidak dibuat massal. Pengunjungnya juga tidak konvensional. Ada perempuan berambut jambon campur pirang berkaca mata hitam 1980-an dan lelaki berjins ketat dengan kardigan wol seperti Buddy Holly, musikus 1950-an. Di halaman belakang, Backyard Market diadakan di atap terbuka, menyajikan jajanan seperti burger dan kue dadar. Di situ kami beranjak ke Brick Lane Market, pasar loak di jalanan terbuka. Konsepnya serupa ”sogo jongkok” di Jakarta, pedagang meletakkan dagangan di sehampar tikar. Suasana agak kumuh, tetapi inilah yang menarik banyak anak muda datang berburu barang antik, pakaian vintage, karya seni unik, selain camilan dari seluruh dunia. Sebuah majalah di London menggambarkan berbelanja di Brick Lane Market seperti ”looking for a gem in a plethora of junk”, mencari harta di antara setumpukan barang tidak berharga. Itulah yang saya rasakan. Saya membeli buah persik dari bapak tua berkulit hitam yang berteriak kuat-kuat menawarkan dagangan. Teman saya sangat menikmati band dadakan bertema jazz Latin sambil mengudap iga panggang dari kios terdekat. Beberapa meter kemudian kami bertemu anak muda berambut kribo ala Jimmy Hendrix asyik memainkan gitar elektrik ditemani pengunjung yang mengagumi petikan gitarnya. Kami kemudian menyusuri gang kecil hingga tiba di Spitalfields Market. Konsepnya serupa Brick Lane Market, tetapi terdiri dari deretan kios putih yang rapi di bawah atap permanen. Tempat ini lebih nyaman karena fasilitasnya lengkap. Ada toilet, lift, tempat duduk publik, lantainya bersih, dan banyak kafe serta restoran. Walau begitu, saya merasa daya tarik Spitalfields tidak sebesar Brick Lane Market karena kebanyakan produk yang ditawarkan cenderung lebih mahal dan kurang berkarakter. Lukisan dan hiasan dinding, misalnya, banyak hasil reproduksi. Ada kesan Spitalfields Market didesain untuk memenuhi selera turis berkocek agak tebal, sedangkan Brick Lane Market ditujukan bagi anak muda London. Pengunjung yang sekadar ingin mencicipi atmosfer hip London akan puas mengunjungi Spitalfields Market. Mereka yang ingin merasakan London modern yang artistik, trendy, dan multikultural, Brick Lane Market tetap alternatif terbaik. Multikultural Menyusuri jalan pulang, tidak sengaja saya temukan gedung kecil bercat lusuh dengan pamflet yang menandai sedang diadakan eksibisi seni. Itulah Old Truman Brewery, pusat aktivitas kreatif anak muda di area tersebut. Dari luar gedung tampak kecil, tetapi sebenarnya berlantai lima di mana 200 individu dan perusahaan bidang kreatif, seperti desainer mode, seniman, musikus, arsitek, dan fotografer bekerja. Area sentral gedung adalah galeri. Saat itu karya yang dipamerkan terkesan eksentrik, kontemporer, dan nonkonformis dengan menggunakan beberapa media sekaligus untuk memaksimalkan efek yang dikehendaki. Dalam perjalanan pulang ke London bagian barat, saya kembali mengingat Brick Lane, magnet London selama ratusan tahun yang menarik pendatang dari seluruh dunia. Di Brick Lane toko roti bagel milik imigran Yahudi damai bersebelahan dengan restoran imigran Muslim Banglades. Gedung yang kini menjadi Masjid Jami (Jamee Mosque) sebelumnya sempat difungsikan sebagai Gereja Kristen Protestan, Gereja Methodist, dan Sinagog Yahudi. Semangat multikulturalisme London mampu membuat mereka yang tinggal di Inggris selama bergenerasi maupun yang baru tiba kemarin merasa at home. Keterbukaan macam inilah yang memungkinkan diterimanya komunitas seniman dan desainer bersemangat nonkonformis. Galeri memamerkan karya seni kontemporer bersebelahan dengan gedung tua bersejarah khas London. Brick Lane di East End menjadi simbol London abad ke-21 yang hidup, terbuka, dan dinamis. Anita P Rusdihardjo Lulusan Magister Komunikasi Warwick University, Inggris Sumber: Kompas.com |